Salah satu aktifitas penambangan pasir sungai yang dilakukan masyarakat di Kepulauan Anambas secara tradisional.
Anambas, SinarPerbatasan.com – Aktifitas penambangan pasir tradisional di Kabupaten Kepulauan Anambas, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), merupakan tradisi mencari pundi-pundi rejeki yang dilakukan oleh sekelompok warga setempat secara turun temurun, yang diwariskan oleh para leluhur terdahulu.
Pada masanya, pasir yang di ambil dari aliran sungai tersebut, dapat ditambang dengan bebas, tanpa harus ada izin administrasi yang mempersulit aktifitas mereka.
Hal itu disampaikan oleh Doni, salah seorang warga Kepulauan Anambas, yang kesehariannya menggantungkan hidupnya dari menambang pasir secara tradisional. Menurutnya, tambang pasir yang dilakukan oleh masyarakat setempat sifatnya hanya sebatas untuk kebutuhan menyambung hidup. Tidak ada kegiatan eksploitasi besar-besaran yang dapat merusak alam secara serius.
“Berbeda dengan di jaman sekarang, perizinan bukan di tingkat Kabupaten, tapi di tingkat Provinsi. Tak mudah mengurus izin galian C terutama bagi pengusaha tambang tradisional,” ucap Doni kepada awak media sinarperbatasan.com, Rabu (29/05/2024).
Ia mengatakan, pengurusan izin tambang galian C, membutuhkan waktu dan biaya. Sebab, perinzinannya harus dari Pemerintah Provinsi, sementara antara Kabupaten Kepulauan Anambas dengan Ibu Kota Provinsi Kepri yang berada di Kota Tanjungpinang, jaraknya cukup jauh, dan terpisah oleh lautan.
Artinya, bagi siapa saja yang ingin mengurus izin tambang galian C seperti pasir dan batu, musti mengeluarkan biaya transportasi, penginapan dan kebutuhan lainnya selama mengurus izin. Hal itu tentu tidak sebanding dengan hasil yang didapat oleh para penambang pasir, yang dilakukan secara tradisional.
Padahal kata Doni, pasir yang mereka dapatkan, hasilnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya anak sekolah. Tidak untuk mendulang kekayaan, karena dilakukan secara tradisional, yang jumlahnya tentu terbatas. .
“Menambang pasir ini hanya untuk kami bertahan hidup, dan menyekolahkan anak. Karena kami tidak memiliki pekerjaan tetap, jadi hanya bisa mencari usaha secara mandiri, dengan memanfaatkan sumber daya alam yang ada, salah satunya pasir,” ungkap Doni.
Doni mengatakan, dengan dipersulitnya proses pengurusan izin tambang pasir diwilayah Kepulauan Anambas, akan mempersempit peluang usaha bagi masyarakat setempat, dan bahkan dapat mengancam perekonomian masyarakat menengah kebawah seperti dirinya.
Donu menyayangkan, jika asset alam selama ratusan tahun dimanfaatkan secara turun-temurun harus tutup karena ada izin dari berbagai pihak terkait. Padahal kata Doni, selama ini usaha mereka aman-aman saja, walau berulang kali harga pasir jatuh bangun, namun mereka tetap rela bekerja, karena hanya itu mata pencarian mereka yang dinilai cukup menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama keluarga.
“Penambangan pasir sesungguhnya membawa dampak ekonomi bagi masyarakat, karena kami orang lemah secara ekonomi, bekerja sebagai buruh di penambangan pasir satu-satunya pilihan hidup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selain itu sesungguhnya tidak membuat kami kaya. Seringkali ini tidak kita dipahami oleh pihak terkait, begitu mudah menyalahkan pekerjaan ini,” tutur Doni.
“Sekali lagi bagi kami ini adalah pekerja sebagai penambang pasir urat nadi kehidupan kami, yang mempunyai keluarga dan anak-anak yang sedang sekolah. Ini adalah sebagai pekerjaan warisan bagi kami sendiri. Kami bekerja tidak menggunakan mesin sedot atau alat pengisap pasir, kenapa kami yang bekerja manjual juga ikut imbasnya,” ucap Doni lagi.
Laporan : Thoni