Kepala Bidang (Kabid) Akuntansi Keuangan (Perbendaharaan) Daerah Kabupaten Natuna, Muhannamar, SE., saat ditemui awak media di ruang kerjanya di Bukit Arai, Kamis (07/12/2023) siang. (Foto : Erwin Prasetio)
Natuna, SinarPerbatasan.com – Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, melalui Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD), memberikan klarifikasi tentang pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang di bebankan terhadap pihak rekanan, atas setiap transaksi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, kepada pihak rekanan, yang nilai transaksinya di atas Rp 2 juta.
Karena sebelumnya, media ini telah menerbitkan berita berjudul “Ternyata Perusahaan Non PKP Tidak Wajib di Bebani PPN, Bagaimana dengan di Natuna ?” edisi terbit tanggal 05 Desember 2023. Berita tersebut mendapatkan berbagai tanggapan dari sejumlah pihak, termasuk dari Pemda Natuna.
Klarifikasi tersebut disampaikan oleh Kepala Bidang (Kabid) Akuntansi Keuangan (Perbendaharaan) Daerah BPKPD Kabupaten Natuna, Muhannamar, SE., ketika ditemui oleh awak media diruang kerjanya di Jalan Batu Sisir, Bukit Arai, Kecamatan Bunguran Timur, pada Kamis (07/12/2023) siang.
Muhannamar mengakui, bahwa PPN sendiri bukan bagian dari harga barang/jasa, yang ditetapkan oleh pihak penyedia barang/jasa.
“Memang benar, kalau PPN ini kewajiban perpajakan yang dilekatkan kepada pembeli atau konsumen, termasuk Pemda yang jadi konsumen, diwajibkan untuk membayar PPN (11 persen – red),” jelas Muhannamar.
Kata Muhannamar, setiap penganggaran belanja barang dan jasa yang dilakukan oleh Pemda Natuna yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), menganut asas Bruto.
Asas Bruto sendiri merupakan suatu prinsip yang tidak memperkenankan pencatatan secara neto penerimaan, setelah dikurangi pengeluaran pada suatu unit organisasi, atau tidak memperkenankan pencatatan pengeluaran setelah dilakukan kompensasi antara penerimaan dan pengeluaran.
“Jadi dalam asas Bruto itu, setiap penganggaran sudah diperhitungkan seluruh komponen yang ada, termasuk harga barang dan pajak-pajak didalamnya, baik itu PPN dan PPh. Dalam kwitansi pembayaran juga demikian, kita pakai asas Bruto,” jelas Muhannamar.
Muhannamar menduga, jika selama ini telah terjadi miskomunikasi antara Pemda Natuna sebagai konsumen, dengan pihak rekanan sebagai penyedia barang/jasa, dalam hal pemungutan PPN dan PPh atas setiap transaksi dengan nilai di atas Rp 2 juta.
Kemudian, sambung Muhannamar, selain menerapkan asas Bruto, pihaknya juga memakai asas ketentuan umum, dalam membuat perjanjian kontrak dengan pihak rekanan.
“Acuan kita kontrak, kalau tak disebutkan belum termasuk PPN itu ketentuan umum, artinya dia asas bruto. Kecuali di kontrak ada ketentuan khusus belum termasuk PPN. Jadi kalau di kontrak tak ada ketentuan khusus, ikut ketentuan umumnya,” imbuh Muhannamar.
Kedepan Muhannamar menghimbau kepada seluruh OPD dilingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, agar menjelaskan secara rinci dalam setiap melakukan perjanjian kerjasama dengan pihak rekanan. Hal ini di lakukan agar kedepan lebih transparan, sehingga tidak terkesan jika PPN dipotong dari harga barang/jasa yang disediakan oleh pihak penyedia.
“Kedepan akan kita sampaikan ke kawan-kawan (sesama OPD – red), agar dibuat (laporan pembayaran ke rekanan – red) secara rinci. Jadi jelas haknya penyedia berapa, dan kewajiban Pemda berapa. Namun di haknya penyedia itu nanti dipotong 2 persen untuk PPh,” pungkasnya.

Kepala KP2KP (Kantor Pajak) Ranai, Ihsanul Zikri (baju batik) didampingi Pelaksana KP2KP Ranai, Andrean (paling kanan), saat ditemui awak media di kantornya, Kamis (07/12/2023) siang.
Sementara itu Kepala KP2KP (Kantor Pajak) Ranai, Kabupaten Natuna, Ihsanul Zikri, mengatakan, jika pihaknya sudah sering memberikan sosialisasi kepada pihak Pemerintah Daerah Kabupaten Natuna, terutama kepada para Bendahara Pemda, soal penetapan harga barang/jasa harus disertakan dengan PPN dan PPh.
“Kami sosialisasikan terus, bahkan satu tahun itu dua kali untuk satu item. Kami sampaikan ke Bendahara Pemda, apapun uang yang kalian keluarkan dari DPA APBD, itu harus sekalian PPN dan PPh, dan harus di sosialisasikan juga ke rekanan,” tutur Ihsanul Zikri, didampingi Pelaksana KP2KP (Kantor Pajak) Ranai, Andrean, di kantornya di Kelurahan Ranai, Kecamatan Bunguran Timur.
Ihsanul Zikri mengatakan, di setiap Instansi Pemerintah telah di buat Daftar Pelaksanaan Anggaran (DPA) dalam setiap penganggaran kegiatan. Dalam DPA tersebut, harga barang/jasa harus sudah termasuk PPN dan PPh.
“Misalnya ini, transaksi barang atau jasa Rp 10 juta, Pemda harus menetapkan (harga barang – red) di DPA Rp 11,1 juta, karena ada PPN 11 persen. Jadi nanti penyedia barang atau jasa terima full Rp 10 juta. Kemudian penyedia diwajibkan mengeluarkan PPh dari harga barang atau jasa yang diterima (maksimal 2 persen – red),” terangnya.
Dasar hukumnya, sesuai Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Undang-Undang KUP).
Kemudian Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Undang-Undang PPN).
Serta Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 59/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (PKP), serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah.
Laporan : Erwin Prasetio