BerandaDaerahMenilik Malok Sagu, Napas Tradisi Natuna yang Bertahan di Tengah Gempuran Kuliner...

Menilik Malok Sagu, Napas Tradisi Natuna yang Bertahan di Tengah Gempuran Kuliner Modern

- Advertisement -

Natuna, SinarPerbatasan.com – Di tengah gempuran makanan instan dan olahan makanan modern yang semakin mudah dijumpai di pasaran, masyarakat di beberapa Desa di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), ternyata masih setia mempertahankan tradisi lama, mengolah sagu secara tradisional di tepian hutan dan rawa.

Dengan menggunakan alat sederhana dan tenaga tangan, butiran sagu diperas dari batang rumbia menjadi tepung putih yang menjadi sumber pangan masyarakat Natuna secara turun-temurun. Namun, di balik kesetiaan itu, terselip tantangan besar, generasi muda mulai enggan melanjutkan tradisi, sementara bahan pangan lokal ini perlahan tersisih oleh cita rasa makanan praktis di zaman modern.

Ditengah moderinisasi, namun sebagian masyarakat Natuna masih mempertahankan Tradisi Malok Sagu secara tradisional.

Di Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur, aroma khas getah pohon rumbia tercium saat batang-batang sagu ditebang dan dibelah. Di sinilah Ahmadi bersama sejumlah rekannya, menghabiskan hari-harinya memeras empulur sagu, menggunakan alat tradisional yang disebut palok saguk. Hasilnya kemudian disaring dengan air sungai hingga menghasilkan pati sagu murni berwarna putih susu.

“Sudah sejak jaman orang tua saya dulu begini caranya. Sagu ini bukan cuma makanan, tapi bagian dari hidup kami,” ujar Ahmadi, ketika ditemui awak media ini di Dusun Meso, Desa Batu Gajah, Senin (06/10/2025) siang.

Ahmadi saat memasak sagu mentah menjadi sagu butir dengan cara tradisional.

Namun, romantika tradisi ini kini tak semudah dulu. Anak-anak muda di desanya lebih memilih bekerja di kota atau membuka usaha kuliner modern. Mie instan, roti gandum, dan minuman kemasan kini lebih mudah didapat, dibanding sagu yang harus diolah dengan tenaga dan waktu panjang.

Selain itu, pohon rumbia (bahan utama sagu) mulai sulit ditemukan, karena sebagian rawa telah beralih fungsi menjadi lahan pemukiman dan perkebunan. Minimnya dukungan alat modern dan akses pasar juga membuat para pengolah sagu tradisional harus menjual hasilnya dengan harga rendah, hanya sekedar untuk bertahan hidup.

Proses pembelahan batang sagu, sebelum di ambil sari patinya, yang dilakukan oleh kelompok Sagu Bestari dari Desa Batu Gajah, Kabupaten Natuna.

Meski demikian, beberapa komunitas lokal dan dinas terkait mulai berupaya menghidupkan kembali minat masyarakat terhadap pangan lokal. Pemerintah daerah bersama kelompok wanita tani di Natuna, mulai mengembangkan produk turunan seperti kue sagu, mie sagu, hingga kernas (makanan khas dari sagu dan ikan tongkol). Upaya ini diharapkan dapat menarik kembali minat generasi muda sekaligus menjaga warisan kuliner yang telah menjadi identitas masyarakat di Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah.

https://www.sinarperbatasan.com/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-20-at-21.06.11-6.jpeg

“Untuk mempertahankan tradisi dari nenek moyang ini, kami orang-orang tua di Desa Batu Gajah membentuk kelompok pengolahan sagu, yang kami beri nama Kelompok Pangan Bestari. Kelompok ini mendapatkan dukungan dari Pemerintah Desa Batu Gajah dan Pemerintah Daerah,” ungkap Samsul Bahari, yang merupakan Sekretaris dari kelompok tersebut.

Proses Palok Sagu (memarut batang sagu) menggunakan alat tradisional.

Bapak tiga orang anak itu mengungkapkan, mempertahankan tradisi malok sagu secara tradisional bukanlah hal yang mudah, di tengah perubahan zaman dan masuknya budaya kuliner modern. Di tengah sepinya hutan rumbia, hanya orang-orang tua yang masih setia bergelut dengan batang sagu. Dengan tangan kasar dan sabar, mereka menumbuk, memeras, dan menyaring empulur menjadi bahan setengah jadi, warisan pangan yang dulu menjadi sandaran hidup banyak keluarga di daerah ujung utara Indonesia.

Sambil mengusap peluh di kening, Samsul Bahari menambahkan, jika hasil dari kerja keras itu sebenarnya tak seberapa. Untuk mengolah sagu sejak penebangan batang hingga menjadi sagu butir siap jual selama dua hari, ia hanya mendapat sekitar lima puluh ribu rupiah per gantang (sekitar 10 kilogram). Jumlah yang tak sebanding dengan tenaga, waktu, dan peluh yang tercurah di bawah terik matahari di tengah jenggala.

“Biasanya sekali olah sampai dapat dijual, masing-masing dari kami mendapatkan bagian sekitar seratus lima puluh ribu. Tidak banyak juga hasilnya, untuk makan cukup lah,” imbuh pria tua yang telah memiliki tiga orang cucu itu, seraya menghisap rokok kretek yang terselip diantara jemarinya.

Setelah menjadi tepung sagu setengah jadi, dilanjutkan proses pengarukan untuk menjadikan sagu butir siap jual di pasaran.

Sagu-sagu yang diolah itu nantinya menjadi bahan utama aneka kuliner khas Natuna. Dari tangan-tangan terampil para ibu, sagu menjelma menjadi kernas yang gurih, tabel mando yang kenyal dan gurih, hingga mie sagu yang lezat dan mengenyangkan. Cita rasa asli Natuna yang perlahan mulai tersisih oleh gempuran makanan modern. Setiap gigitannya seakan membawa kenangan tentang masa ketika masyarakat melayu masih menggantungkan hidup pada hasil hutan dan laut.

Tradisi mengolah sagu mungkin tak lagi seramai dulu, tetapi bagi sebagian warga melayu dari daerah berjuluk Mutiara di Ujung Utara Indonesia itu, setiap butir tepung sagu adalah simbol ketekunan dan kearifan lokal, yang tak lekang oleh waktu. Di antara deru mesin modern, suara palok saguk yang menumbuk batang rumbia masih terdengar lirih, menjadi pengingat bahwa kemajuan tak selalu harus melupakan akar budaya. (Erwin Prasetio)

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Google search engine

Google search engine

Google search engine

Most Popular

Recent Comments

https://ibb.co/hBb6x82

Dilindungi Hak Cipta!!