Kisah Pak Mursinih dan Keberanian Memilih Vasektomi

0
173
Pak Mursinih, warga Desa Langkomu, Kecamatan Mawasangka Tengah, yang memilih Vasektomi sebagai alat kontrasepsi mantap.
Google search engine

SINARPERBATASAN.COM, BUTON TENGAH – Pagi itu, Kamis (06/11/2025), di halaman kantor Kecamatan Mawasangka Tengah, Kabupaten Buton Tengah, Mursinih tersenyum ketika menceritakan keputusannya.

“Anak kelima baru saya vasektomi,” katanya sambil terkekeh. “Soalnya, kalau istri saya pakai KB lain, badannya gemuk, kadang sakit, kasihan.” Kata dia saat menjadi salahsatu narasumber kegiatan Intensifikasi Program KB-KR di Wilayah Khusus Kabupaten Buton Tengah. Diselenggarakan oleh BKKBN Sultra dan Dinas P2KB Buton Tengah.

Ia bukan pegawai, bukan orang kaya, bahkan menyebut dirinya “orang paling miskin di Langkomu”. Tapi keputusan yang ia ambil menunjukkan kekayaan batin dan keberanian nya yang berpikir jauh ke depan.

“Saya pikir, bagaimana anak-anakku nanti,” katanya pelan. “Kalau ada rumah kosong di Lalibo, di Langkomu, kami yang isi. Jadi, saya harus berpikir supaya hidup bisa teratur.”

Kisah Mursinih tidak datang tiba-tiba. Anak pertamanya lahir hanya berselang 20 bulan dari anak kedua. “Dua ayunan saja jaraknya,” ujarnya.

Sejak saat itu, ia tahu bahwa pengendalian kelahiran bukan hal sepele. “Dulu saya perantau, tapi karena anak sudah dua ayunan, saya batal berangkat,” katanya.

Namun, niat melakukan vasektomi baru muncul bertahun-tahun kemudian ketika ia benar-benar merasa cukup.

“Kalau saya jadi pegawai mungkin tidak jadi,” ujarnya, lalu tertawa kecil. “Tapi karena saya hidup pas-pasan, saya harus pikir masa depan anak-anak.”

https://www.sinarperbatasan.com/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-20-at-21.06.11-6.jpeg
Pak Mursinih menjadi salahsatu narasumber dalam kegiatan Intensifikasi Program KB-KR di Wilayah Khusus Kabupaten Buton Tengah. Diselenggarakan oleh BKKBN Sultra dan Dinas P2KB Buton Tengah. Kamis, (06/11/2025).

Bagi Mursinih, vasektomi bukan soal takut, tapi soal tanggung jawab. Ia sadar, masyarakat di desanya masih sering salah paham.

“Kadang orang bilang, nanti tidak bisa berdiri lagi. Itu tidak benar. Boleh tanya berapa lama durasinya dan waktunya,” katanya sambil tersenyum.

Kekhawatiran terbesar justru datang dari istrinya. “Dia takut saya selingkuh, karena katanya sudah tidak bisa bikin anak,” ujarnya jujur. “Makanya sebelum saya lakukan, kami bicara dulu, harus sama-sama setuju.”

Menurut dr. Fitriani Abu Kasim, Ketua Tim Kerja Akses Kualitas Layanan KB dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Sultra, keputusan seperti yang diambil Mursinih adalah langkah maju.

“Vasektomi itu bukan akhir dari kejantanan, tapi awal dari kesadaran baru bahwa ber-KB bukan hanya urusan perempuan,” katanya.

Senada, dr. Abdul Rahman Mata dari PKMI Sulawesi Tenggara menilai keberanian Mursinih adalah contoh nyata peran laki-laki dalam kesehatan keluarga.

“Vasektomi itu ringan, aman, dan justru membantu ekonomi keluarga,” ujarnya. “Kalau istri sudah terbebas dari efek hormon, suami pun ikut sehat, anak-anak lebih terurus.”

Kini, Mursinih menjalani hidupnya dengan tenang. Tidak ada lagi ketakutan soal biaya, tidak ada kekhawatiran istri jatuh sakit karena KB hormonal.

“Saya sudah mantap,” katanya dengan nada pasti. “Karena ber-KB itu bukan soal berhenti punya anak, tapi mulai berpikir tentang hidup yang lebih baik.” (Advetorial)

Reporter: Sadly

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini