
Natuna, SinarPerbatasan.com – Bagi banyak anak sekolah dasar, kata Polisi sering terdengar menakutkan. Dulu, tak jarang orang tua menakut-nakuti anak dengan sosok berseragam cokelat setiap kali mereka berbuat salah. Namun pemandangan itu tak lagi berlaku di sekolah-sekolah di Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Di sana, anak-anak dari tingkat SD hingga SMA, justru berlari kecil sambil tersenyum ketika melihat seorang polisi datang. Sosok itu adalah Ipda Mudianto, S.H., perwira muda yang hadir bukan sebagai pengawas, melainkan sebagai sahabat yang tulus mendengarkan cerita mereka.
Kedekatan Ipda Mudiyanto dengan anak-anak sekolah di Natuna, tidak lahir begitu saja. Jauh sebelum ia menjadi Perwira Pertama (Pama) di Polda Kepri, hubungan itu bersemi ketika ia masih bertugas sebagai Bhabinkamtibmas Polsek Bunguran Timur, di Kelurahan Ranai, sekitar tahun 2017 silam.
Saat itu pangkatnya masih Briptu, usia muda, penuh semangat, namun sudah cukup peka membaca kebutuhan warganya. Dari rutinitasnya turun ke lapangan, ia melihat banyak anak yang sebenarnya haus akan bacaan, tetapi tak punya cukup akses. Di sanalah muncul gagasan kecil, yang kelak mendekatkan ia dengan dunia anak-anak, dengan membuat perpustakaan keliling.

Dengan sepeda motor dinasnya, Mudiyanto mulai membawa tumpukan buku cerita yang ia pilih sendiri, yang sederhana, berwarna, dan pas untuk imajinasi anak sekolah. Setiap kali jam istirahat tiba, ia muncul di halaman sekolah dasar yang ia lewati.
Dari kejauhan, anak-anak yang tadinya sibuk bermain akan berhenti dan menoleh, beberapa berlari kecil mendekat begitu melihat tas berisi buku di tangannya. Di bawah rindang pohon atau di pinggir lapangan, ia duduk bersama mereka, membacakan cerita, menjawab pertanyaan, atau sekedar mendengar tawa polos yang mengisi siang itu.
Sejak saat itu, polisi bagi mereka bukan lagi sosok yang menakutkan, melainkan seorang kakak yang datang membawa cerita dan perhatian.
“Awalnya anak-anak datang dan berkerumun itu bukan karena ingin membaca,” kenang Mudiyanto sambil tertawa, ketika ditemui sinarperbatasan.com pada Sabtu (29/11/2025).
“Mereka kira saya mau jualan roti. Soalnya waktu itu saya pakai motor dinas yang ada boksnya di belakang,” sambung Mudiyanto, sambil mengingat awal perjuangannya mengenalkan perpustakaan keliling kepada anak-anak sekolah.

Ia masih mengingat jelas momen pertamanya membuka perpustakaan keliling di sebuah sekolah dasar di Bunguran Timur. Momen sederhana, yang kemudian menjadi jembatan kedekatannya dengan dunia anak-anak di Bumi Laut sakti Rantau Bertuah.
Perwira dengan satu balok emas di pundaknya itu bercerita, bahwa perjalanan membangun perpustakaan keliling tidak selalu mudah. Pada awal merintisnya, ia justru dilanda kebingungan, dari mana harus mendapatkan buku yang cukup banyak dan beragam. Sementara ia sendiri tak memiliki cukup uang, untuk membeli buku bacaan bagi anak-anak. Meski keinginannya sudah besar, tetapi kemampuannya terbatas.
“Waktu itu saya benar-benar bingung, dari mana saya bisa dapat buku sebanyak itu,” tuturnya pelan, mengingat kembali masa-masa itu.
Namun tekadnya untuk menghadirkan buku bagi anak-anak, membuatnya tak menyerah. Ia mulai berkeliling, mendatangi warga dan teman-temannya, mencari jalan keluar. Dari perjalanan kecil itulah, ia menemukan sebuah perpustakaan yang sudah lama sepi dan jarang dikunjungi. Koleksi bukunya banyak, tetapi tak lagi tersentuh. Dengan penuh harap, ia memberanikan diri berbicara kepada pengelolanya.
“Alhamdulillah, pengelolanya mau meminjamkan buku-bukunya untuk saya bawa keliling. Intinya pinjam pakai saja, nanti saya kembalikan lagi,” ujar bapak tiga anak itu, matanya berbinar mengenang kebaikan sederhana yang menjadi fondasi perpustakaan kelilingnya bertahan hingga detik ini.

Melihat antusias anak-anak yang begitu besar setiap kali ia datang membawa buku, semangat Mudiyanto untuk mengembangkan perpustakaan kelilingnya kian menyala. Ia merasa bahwa apa yang dimulainya, tidak boleh berhenti hanya pada kunjungan singkat di halaman sekolah.
Setahun kemudian, tepatnya pada 2018, ia mengambil langkah berani, membuka sebuah rumah baca di kediamannya sendiri, di Gang Rambutan, Kelurahan Ranai. Dari ruang sederhana itu, ia berharap akan lebih banyak anak bisa menikmati bacaan, tanpa harus menunggu ia datang dengan motor dinasnya.
Niat tulus Mudiyanto untuk menghadirkan cahaya pengetahuan di daerah perbatasan, rupanya mendapat sambutan hangat dari orang terdekatnya, yaitu istri tercintanya, Ika Kusumawati, S.Pd. Kebetulan, Ika adalah seorang guru di salah satu SMP di Bunguran Timur, sehingga ia sangat memahami pentingnya akses bacaan bagi anak-anak.
Dengan penuh dukungan, Ika menemani sang suami menata rumah kecil mereka, menjadi taman baca yang nyaman. Dukungan itu membuat Mudiyanto semakin yakin, bahwa langkah kecil yang mereka mulai bersama, dapat membawa perubahan besar bagi masa depan anak-anak di ujung utara Indonesia.
“Saya sangat bersyukur, karena istri saya selalu mendukung,” tutur Mudiyanto lembut. Baginya, setiap langkah yang ia capai hari ini, tidak pernah berdiri sendiri. Ada sosok istri hebat, yang diam-diam menjadi kekuatan di belakangnya, mendorong, menyemangati, dan menjaga agar niat baiknya tak pernah padam.

Bak gayung bersambut, langkah kecil yang Mudiyanto bangun bersama istrinya, ternyata menarik perhatian hingga ke tingkat nasional. Setahun berselang, pada 2019, dukungan datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI saat itu, Muhadjir Effendy, yang kebetulan ada agenda kunjungan ke Kabupaten Natuna.
Kabar tentang rumah baca sederhana dan perpustakaan keliling yang ia rintis dari nol, sampai juga ke telinga sang Menteri. Dari sanalah Mudiyanto memperoleh dorongan besar, bukan hanya semangat, tetapi juga bantuan nyata yang membuat perpustakaan keliling dan rumah bacanya berkembang pesat. Koleksi bukunya bertambah lengkap, ruang baca semakin layak, dan mimpinya menghadirkan akses literasi bagi anak-anak Natuna semakin mendekati kenyataan.
“Selain bantuan dari Pak Menteri, dukungan juga datang dari SKK Migas,” tutur Mudiyanto, suaranya terdengar sarat rasa syukur.
Polisi muda nan merakyat berusia 36 tahun itu bercerita, bahwa berkat bantuan itu, ia kini tak lagi mengandalkan motor dinas lamanya. Sebuah motor roda tiga, telah menggantikan kendaraan sederhana, yang dulu hanya mampu membawa beberapa tas buku.
“Alhamdulillah, sekarang saya bisa bawa buku jauh lebih banyak. Bisa sampai ribuan sekali jalan,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Baginya, perubahan itu bukan sekedar soal kendaraan, tetapi simbol harapan, bahwa niat baik yang diperjuangkannya tak sendirian, dan semakin banyak tangan yang ikut menjaga nyala kecil literasi di daerah berjuluk Mutiara di Ujung Utara Indonesia.
Perjuangan Mudiyanto, polisi yang memulai kariernya sebagai Bintara pada 2010 dengan pangkat Bripda, bukan sekedar kisah indah yang hanya terdengar di bibir atau tertulis di atas kertas. Dedikasi yang ia tanamkan selama bertahun-tahun itu, telah menjelma menjadi jejak nyata.
Satu per satu penghargaan datang menghampiri, dua kali Pin Emas dari Kapolri, lima kali penghargaan dari Kapolda Kepri, dan enam kali apresiasi dari Kapolres Natuna. Deretan penghargaan itu bukan untuk dibanggakan, melainkan menjadi bukti bahwa kerja sunyi yang ia lakukan, telah menggerakkan literasi di wilayah perbatasan dan terluar di negeri ini, dan telah menghadirkan dampak yang tak bisa lagi disangkal.
Sejatinya, Mudiyanto bukanlah putra asli Natuna. Ia lahir dan tumbuh di Bojonegoro, Jawa Timur, sebelum akhirnya mengambil keputusan besar pada tahun 2007 untuk merantau ke ujung utara Nusantara. Dengan bekal keberanian dan harapan sederhana, ia meninggalkan kampung halaman menuju bumi Melayu, tanah yang terkenal dengan kekayaan alamnya, dari migas hingga lautannya yang subur.
Di tempat baru itulah ia menata hidup dari awal, bekerja sebagai pegawai honorer di Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kabupaten Natuna. Namun siapa sangka, perjalanan hidupnya berubah ketika sebuah peluang datang menghampiri.

“Pada tahun 2010, saya mencoba daftar Bintara Polisi. Alhamdulillah lulus,” kenangnya. Langkah itulah yang perlahan menuntun Mudiyanto pada panggilan jiwa yang lebih besar. Mengabdi, bukan hanya sebagai polisi, tetapi sebagai sahabat bagi pendidikan dan masa depan anak-anak di perbatasan.
Kisah heroik Mudiyanto layak menjadi cermin dan teladan bagi siapa saja, bukan hanya bagi mereka yang mengenakan seragam polisi. Di tanah yang awalnya bukan kampung halamannya, ia justru menunjukkan kepedulian yang melampaui batas tugas dan asal-usul.
Dengan ketulusan dan kerja nyata, ia berjuang memajukan dan mencerdaskan anak-anak di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar), daerah yang kerap luput dari perhatian, namun menyimpan masa depan yang sama berharganya. Seperti pepatah lama yang ia hidupi tanpa banyak kata, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Dan di Natuna, jejak kebaikan itu telah menjunjung begitu tinggi.
“Saya selalu bilang kepada anak-anak di sini (Natuna), siapapun bisa menjadi apapun. Artinya apa, dari manapun kita berasal, kesempatan kita sama dengan anak-anak di kota untuk meraih mimpi. Yang penting, kita mau belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak menyerah mengejar cita-cita,” pesan Mudiyanto kepada setiap anak-anak yang ia temui. Sebuah nasihat sederhana, namun menjadi cahaya harapan bagi generasi muda di ujung perbatasan negeri.

Terpisah, Aufa Yassar (10), siswa kelas IV MI Darul Ulum Bunguran Timur, mengaku dulu ia sempat merasa takut setiap kali melihat aparat Kepolisian. Namun semua berubah sejak kehadiran Ipda Mudiyanto, yang rutin menyambangi sekolahnya, untuk memberikan edukasi dan pendampingan.
Di mata Aufa, sosok Mudiyanto bukan hanya polisi biasa, melainkan teman yang menenangkan, ramah, dan mampu memberi rasa aman serta pengetahuan baru yang tak pernah ia dapatkan di lingkungan sekitar.
“Dulu takut (sama polisi), sekarang nggak lagi. Ternyata Pak Polisi itu baik,” ucapnya polos.
Ucapan sederhana itu, menggambarkan betapa tulusnya kekaguman seorang bocah di daerah perbatasan terhadap sosok Bhayangkara, yang hadir bukan sebatas menjalankan tugas negara, tetapi benar-benar menjadi pelindung.
Di mata anak-anak seperti Aufa, kehadiran polisi itu menjelma sebagai pahlawan yang menumbuhkan keberanian, rasa aman, dan harapan bagi generasi penerus bangsa.
Sebelumnya dalam beberapa pernyataan resmi, Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, selalu menegaskan, bahwa seluruh anggota Polri harus tampil sebagai “Polisi Rakyat”. Menjadi penegak hukum yang tegas, tetapi tetap humanis dan dekat dengan masyarakat.
Pesan itu menguatkan semangat yang telah dicontohkan oleh sosok seperti Ipda Mudiyanto, bahwa tugas Polisi tidak hanya soal penegakan hukum, tetapi juga bagaimana keberadaan mereka bisa menjadi berkah bagi rakyat , serta menjadi jembatan keadilan sekaligus sumber harapan bagi generasi penerus bangsa. (Erwin Prasetio)













