Natuna di Ujung Piring, Ketika Tanah Perbatasan Menagih Kedaulatan Pangan

0
107
Pelabuhan Selat Lampa, merupakan pintu keluar masuk dari dan ke Natuna melalui jalur laut. (Foto : Erwin Prasetio)
Google search engine

Natuna, SinarPerbatasan.com – Di titik paling utara Negara Kesatuan Republik Indonesia, berdirilah Kabupaten Natuna, serpihan kepulauan di lautan luas, yang sejak 12 Oktober 1999 resmi menjadi Daerah Otonomi Baru. Usianya kini 26 tahun, namun dinamika kehidupan masyarakatnya terus menjadi cermin, bagaimana sebuah wilayah perbatasan berjuang menata kemandiriannya.

Data pertengahan 2025 mencatat, 86.760 jiwa mendiami Kabupaten Kepulauan yang luas daratannya hanya sekitar 1.978,49 kilometer persegi itu. Mereka tersebar dari Ranai hingga Serasan, dari Midai hingga Pulau Laut, hidup berdampingan dengan alam yang indah sekaligus keras.

Hampir seluruh penduduk Natuna mengonsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat harian. Namun temuan tim SinarPerbatasan.com mengungkap fakta yang mencengangkan, sebab beras yang disantap masyarakat setiap hari, ternyata bukan berasal dari tanah Natuna sendiri, melainkan dikirim dari luar daerah, terutama dari pulau Jawa.

Sebuah ironi muncul. Di satu sisi, Natuna adalah benteng terdepan NKRI, wilayah yang strategis secara geopolitik, kaya potensi perikanan dan energi. Namun untuk pangan paling mendasar saja, warganya harus menggantungkan harapan pada kapal-kapal logistik yang menempuh ribuan kilometer dari selatan.

Untuk mencapai Natuna dari Jawa, perjalanan laut maupun udara tak hanya memakan waktu dan biaya besar, tetapi juga mempertaruhkan keselamatan.

Natuna terkenal dengan lautan ganas, terutama pada periode angin utara dan angin selatan. Pada musim-musim tersebut, ombak dapat menjulang tinggi, angin bertiup kencang, dan kapal-kapal kerap menunda keberangkatan demi menghindari risiko maut.

Bagi kapal logistik yang membawa kebutuhan pokok, kondisi ekstrem itu bukan hanya sebatas tantangan, melainkan ancaman nyata rantai pasok pangan pulau perbatasan.

Namun laut Natuna tidak selalu identik dengan bahaya. Catatan sejarah mengungkap, pada abad ke-10 wilayah ini merupakan jalur perdagangan maritim internasional yang sibuk. Kapal-kapal dagang asing menjadikannya lintasan penting sebelum masuk ke Nusantara.

Banyak dari kapal tua tersebut memuat barang-barang bernilai tinggi, seperti keramik atau rempah, sebelum akhirnya karam dihantam badai di perairan Natuna.

Jejaknya masih ditemukan hingga kini, menjadi saksi betapa strategis sekaligus berbahayanya jalur ini sejak berabad-abad lalu.

Di tengah sejarah panjang dan posisinya yang strategis, satu pertanyaan besar muncul, mengapa Natuna yang menjadi garda terdepan Indonesia, belum mampu mandiri dalam urusan pangan dasar seperti beras?

Salah satu lahan persawahan di Kabupaten Natuna, yang belum mampu memenuhi kebutuhan beras dalam daerah. (Foto : Dok. Pemdes Air Lengit)

Apakah kendalanya tanah? Infrastruktur? Kebijakan? Atau justru pola distribusi, yang selama puluhan tahun tidak memberi ruang bagi Natuna, untuk membangun sistem pertaniannya sendiri?

Pertanyaan ini akan menjadi pintu masuk penyelidikan lebih dalam SinarPerbatasan.com, untuk melihat dari dekat bagaimana ketahanan pangan di Natuna dikelola. Siapa yang paling merasakan dampaknya, dan ke mana arah kebijakan daerah perbatasan, yang menjadi wajah Indonesia di mata dunia itu.

Bagi sebagian besar masyarakat, kondisi ini mungkin masih terasa aman dan lumrah. Kapal-kapal logistik tetap datang, beras tetap tiba, dan dapur-dapur di setiap rumah tetap mengepul.

Namun di balik keseharian itu, tersimpan ancaman besar yang jarang disadari warga. Ancaman yang bisa mengguncang ketahanan pangan Natuna hanya dalam hitungan hari.

Bayangkan, jika suatu waktu terjadi gejolak regional, konflik antar negara, perselisihan batas, atau ketegangan politik di Laut Cina Selatan.

Dalam skenario terburuk, jalur pelayaran menuju Natuna dapat ditutup, akses logistik terputus, dan pasokan beras berhenti total. Pulau yang selama ini bergantung pada kiriman luar, tiba-tiba dapat terjebak dalam krisis pangan yang tak terbayangkan.

Ketakutan semacam ini bukanlah ilusi. Natuna adalah wilayah yang berada di garis depan, dikepung beberapa negara Asia seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, hingga Tiongkok (China).

Letaknya yang strategis, menjadikannya pusat persinggungan kepentingan berbagai negara, sekaligus titik yang paling rentan terdampak, jika ketegangan di kawasan ini meningkat.

Kantor Bulog Natuna, di Jalan Soekarno – Hatta, Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur. (Foto : Erwin Prasetio)

Di tengah rentetan ancaman yang membayangi ketahanan pangan Natuna, tim SinarPerbatasan.com memutuskan menelusuri akar persoalan di lapangan. Langkah pertama mengarah ke Kantor Bulog Natuna, instansi yang memegang peranan vital dalam menjaga pasokan beras, dan kebutuhan dasar lain bagi masyarakat pulau perbatasan ini.

Di sebuah bangunan sederhana di Jalan Soekarno–Hatta, Kelurahan Batu Hitam, Kecamatan Bunguran Timur, Kepala Bulog Natuna, Pencius Siburian, menyambut tim dengan senyum tipis, senyum yang seolah menyimpan cerita panjang soal dinamika logistik menuju pulau terluar.

Dan benar saja, jawaban yang keluar dari mulutnya persis seperti dugaan awal tim, masalah terbesar Natuna bukan pada stok, tetapi pada pengiriman logistik yang penuh risiko.

“Kalau ditanya tantangan paling berat, iya di pengiriman logistik ke sini,” ungkap Pencius, Rabu (26/11/2025), saat ditemui di ruang kerjanya.

Ia menjelaskan bagaimana setiap kapal yang membawa beras harus menembus laut Natuna yang masyhur, karena keganasannya. Pada musim angin utara, gelombang bisa mencapai ketinggian yang membuat jadwal pelayaran mundur berminggu-minggu. Ada kalanya kapal tidak bisa berangkat sama sekali, dan stok di Natuna perlahan menipis tanpa bisa diprediksi.

Kepala Bulog Natuna, Pencius Siburian, ketika ditemui sinarperbtasan.com di ruang kerjanya, Rabu (26/11/2025). (Foto : Erwin Prasetio)

Situasi ini, menurut Pencius, bukan hanya tantangan teknis. Ini adalah kerentanan struktural,  sebuah wilayah yang berada di persimpangan geopolitik Asia dan bergantung pada faktor alam yang tak bisa di negosiasikan.

Menghadapi musim angin utara yang dikenal ganas, yang akan memuncak pada Desember hingga Februari, Bulog Natuna rupanya sudah menyiapkan bantalan pengaman. Di tengah ketidakpastian cuaca dan jalur pelayaran, Pencius Siburian memastikan bahwa stok beras di gudang Bulog masih dalam kondisi aman.

Tumpukan karung-karung beras yang tersusun rapi di gudang, menjadi bukti betapa krusialnya perencanaan jauh hari di wilayah perbatasan ini.

“Saat ini stok kita sekitar 1.100 ton,” ujar Pencius, dengan nada yang sedikit lebih tenang dibanding penjelasan sebelumnya.

“Persediaan beras masih aman sampai triwulan dua tahun depan, kira-kira sampai awal Mei 2026,” sambung dia.

Pernyataan itu seakan menjadi jeda lega, di tengah narasi ancaman logistik Natuna. Namun, di balik angka yang tampak menenangkan tersebut, tetap tersirat satu pesan, ketahanan pangan Natuna hanya sekuat kapal terakhir yang berhasil merapat sebelum ‘badai’ datang.

Terlihat tumpukan stok beras di gudang logistik Bulog Natuna. (Foto : Erwin Prasetio)

Pencius menjelaskan, kebutuhan beras medium masyarakat Natuna mencapai sekitar 2.200 ton per tahun. Angka itu pun hanya mencerminkan konsumsi beras dari Bulog, belum termasuk warga yang memilih beras premium, jenis yang banyak dijual di toko-toko dan masuk melalui jalur distribusi non-Bulog.

Dengan kata lain, kebutuhan beras Natuna sebenarnya jauh lebih besar daripada yang tercatat resmi, sehingga ketergantungan terhadap pasokan luar daerah semakin tak terelakkan.

Di hari yang sama, perjalanan tim SinarPerbatasan.com berlanjut ke Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Natuna. Di sinilah sebuah fakta baru yang lebih mengejutkan terungkap. Ternyata, kebutuhan beras masyarakat Natuna, baik jenis medium maupun premium, mencapai sekitar 6.000 ton per tahun, jauh lebih besar dari angka yang diperkirakan Bulog.

Namun ironi muncul saat angka produksi lokal dibuka oleh Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan natuna, Wan Syazali, ia menyebutkan dari seluruh sawah yang tersisa di daerah berjuluk Mutiara di Ujung Utara Indonesia itu, petani hanya mampu menghasilkan sekitar 200 ton beras per tahun. Jumlah yang bahkan tak cukup menutupi kebutuhan satu bulan penuh bagi seluruh penduduk.

Artinya, produksi lokal baru memenuhi sekitar 3,33 persen dari kebutuhan total. Sisanya 96,67 persen, masih harus datang dari luar Natuna. Bergantung pada kapal-kapal yang menembus ombak besar, cuaca ekstrem, dan situasi geopolitik yang tak selalu bersahabat.

Di tengah terpaan angin utara yang setiap tahun menguji pelayaran, angka itu menjelma menjadi peringatan keras, Natuna adalah pulau penjaga kedaulatan, namun pondasi pangannya berdiri di atas pasokan yang bisa terputus kapan saja.

Dari kantor Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Natuna, tersaji gambaran yang lebih jelas mengenai rapuhnya produksi pangan lokal.

Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Natuna, Wan Syazali, saat diwawancarai sinarperbatasan.com dikantornya di Bukit Arai, Rabu (26/11/2025) siang. (Foto : Erwin Prasetio)

Wan Syazali, pejabat yang memahami betul kondisi pertanian setempat, memaparkan bahwa saat ini Natuna hanya memiliki sekitar 45 hektare sawah produktif, yang benar-benar mampu menghasilkan padi. Jumlah itu terasa kecil, jika dibandingkan dengan total 342 hektare Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang tersebar di seluruh Kabupaten.

“Di Kecamatan Bunguran Utara ada 102 hektare, di Batubi 45 hektare. Sisanya berada di Serasan, Midai, Bunguran Tengah, Cemaga, dan Bunguran Timur Laut,” jelasnya.

Namun fakta lain kembali mencuat, sebagian lahan pertanian warga justru banyak yang dialih fungsikan menjadi lahan ternak sapi, membuat peluang memperluas produksi padi semakin menyempit.

Wan Syazali, yang pernah menjabat sebagai Kabag Ekonomi Setda Natuna itu menyebutkan, bahwa sebenarnya ada sekitar 8.000 warga yang berprofesi sebagai petani, tergabung dalam 50 kelompok tani (Poktan). Angka yang besar, namun tidak sebanding dengan minat menanam padi.

Bantuan dari Pemerintah, mulai dari pusat sampai daerah, sebenarnya selalu ada, seperti alat bajak sawah, pupuk, pestisida, hingga bibit terus diberikan. Tapi lagi-lagi, tanaman padi tidak begitu digemari oleh petani setempat.

Di tengah kebutuhan beras yang mencapai ribuan ton per tahun, kenyataan ini terasa seperti ironi panjang. Pasalnya, Natuna memiliki para petani, memiliki lahan, memiliki dukungan pemerintah, tetapi tidak memiliki cukup orang yang ingin menanam padi.

Sebuah celah besar, yang semakin memperlihatkan betapa ringkihnya kemandirian pangan di wilayah terdepan Indonesia ini.

“Kebanyakan mereka (petani) justru menanam jenis sayuran, cabai, dan semangka,” katanya.

Wan Syazali menambahkan, pada tahun ini Pemerintah Daerah Natuna telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp3 miliar untuk memperkuat berbagai program ketahanan pangan. Dana tersebut digelontorkan untuk mendukung sektor pertanian, perkebunan, peternakan, hingga kegiatan penyuluhan, yang diharapkan mampu mendorong kembali minat masyarakat mengolah lahan dan meningkatkan produksi lokal.

https://www.sinarperbatasan.com/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-20-at-21.06.11-6.jpeg

“Kalau untuk kemandirian pangan, memang kita masih sangat jauh. Tapi udah kita mulai,” tandas Wan Syazali.

Analis Ketahanan Pangan Ahli Madya Kabupaten Natuna, Agus Budiono, saat memberikan keterangannya kepada sinarperbatasan.com. (Foto : Erwin Prasetio)

Sementara itu, dari ruang lain di Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Natuna, muncul perspektif berbeda tentang upaya menjaga masa depan pangan di pulau terdepan Indonesia ini.

Agus Budiono, Analis Ketahanan Pangan Ahli Madya Pemda Natuna, menjelaskan, bahwa selain mendorong peningkatan produksi padi, pemerintah daerah juga tengah menyiapkan sumber pangan alternatif sebagai penopang ketahanan pangan, sebuah langkah antisipasi jika pasokan beras terganggu.

Salah satu yang kini kembali dilirik adalah sagu, pangan lokal (panglok) yang telah lama menjadi bagian dari tradisi masyarakat asli Natuna. Pohon-pohon sagu tumbuh subur di hutan-hutan rawa, terutama di wilayah yang sejak dulu dihuni komunitas Melayu. Uniknya, sebagian besar sagu itu tumbuh tanpa perlu ditanam, seolah menjadi anugerah alam bagi pulau perbatasan.

“Ada beberapa desa yang memiliki potensi sagu, seperti Batu Gajah, Limau Manis, Tanjung, Ceruk, dan Kelarik,” ujar Agus Budiono.

Namun ia mengingatkan, potensi itu hanya akan bertahan jika masyarakat mampu menjaga keberlanjutannya. Pepohonan sagu yang ditebang harus kembali ditanam, agar warisan pangan alami Natuna tidak hilang begitu saja.

“Kalau diambil, ya harus ditanam lagi. Supaya hutan sagunya tidak punah,” tegasnya.

Agus Budiono melanjutkan, sagu bukan sekedar pilihan alternatif, tetapi memiliki kandungan karbohidrat yang jauh lebih tinggi dibandingkan nasi. Menurutnya, 50 gram tepung sagu setara dengan 100 gram nasi, menjadikan komoditas lokal itu sebagai sumber energi yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Ia menegaskan, jika suatu saat terjadi konflik atau cuaca ekstrem yang memutus jalur pasokan beras menuju Natuna, masyarakat tidak perlu panik. Sagu bisa menjadi penyelamat pangan, sebagaimana yang dahulu dilakukan leluhur mereka.

“Kita sedang menggalakkan program one day no rice. Satu hari tanpa makan nasi. Tujuannya untuk melatih masyarakat kita, agar kembali terbiasa mengonsumsi sagu atau ubi. Jangan sampai kita terlalu bergantung pada beras,” pungkasnya.

Untuk melihat lebih dekat potensi sagu di tingkat masyarakat, media ini kemudian mengunjungi Desa Batu Gajah, Kecamatan Bunguran Timur, salah satu wilayah yang dikenal masih memiliki hutan sagu melimpah.

Pengolahan sagu di Desa Batu Gajah, Kabupaten Natuna, yang dilakukan secara tradisional. (Foto : Dok. sinarperbatasan.com)

Di sana, tim bertemu Samsul Bahari (52), Sekretaris Kelompok Pangan Sagu setempat, yang terkadang masih mengolah batang sagu menjadi tepung secara tradisional.

Samsul membenarkan bahwa desanya masih dianugerahi hamparan hutan sagu yang luas. Namun, ia mengakui bahwa hasil olahan sagu belum mampu menjadi penopang ekonomi yang menjanjikan. Selain itu, pola konsumsi masyarakat yang masih sangat bergantung pada nasi, membuat sagu hanya diperlakukan sebagai pelengkap, bukan makanan pokok.

“Sagu biasanya kami olah menjadi kernas, tabel mando, atau tipeng, makanan khas Natuna warisan nenek moyang. Tapi itu tidak dikonsumsi setiap hari. Sehari-hari, kami tetap makan nasi,” ungkap Samsul bahari.

Penuturan Samsul menggambarkan satu hal penting, meski sagu memiliki potensi besar, namun perubahan kebiasaan makan dan persepsi masyarakat, menjadi tantangan tersendiri dalam upaya membangun ketahanan pangan lokal di Natuna.

Tidak berhenti di Dinas Pertanian maupun para pengolah sagu, media ini kemudian melanjutkan investigasi ke tingkat paling dasar, para petani padi itu sendiri. Tujuannya sederhana, mencari tahu mengapa tanaman padi semakin ditinggalkan dan kurang diminati oleh mereka, yang sebenarnya menjadi ujung tombak produksi pangan lokal.

Pencarian itu akhirnya mempertemukan tim dengan Bayu Ardiansyah, Ketua Kelompok Tani Sual Maju. Di antara petak-petak lahan yang mulai ditumbuhi palawija, Bayu berkisah bahwa dirinya dulu pernah menanam padi.

Namun, seiring waktu ia lebih memilih beralih menanam sayur, cabai, dan jagung manis, komoditas yang menurutnya jauh lebih menguntungkan secara ekonomi.

Ketua Kelompok Tani Sual Maju, Bayu Ardiansyah, saat menunjukkan lahan persawahan yang dulu pernah ia tanami padi, namun kini telah menjadi lahan tidur. (Foto : Erwin Prasetio)

Bayu tak menampik, bahwa Natuna sebenarnya memiliki banyak wilayah yang berpotensi menjadi lahan persawahan. Namun alasan ekonomi dan kondisi lahan, membuat para petani memilih mundur dari budidaya padi.

“Lahan sawah banyak, petani padinya yang tidak banyak,” ujar Bayu, ketika ditemui di kawasan Sual, Kelurahan Ranai Darat, Kamis (27/11/2025) sore.

Menurut Bayu, tanah sawah di Natuna memiliki kandungan asam yang cukup tinggi, sehingga membutuhkan pengolahan ekstra sebelum bisa ditanami padi secara optimal.

“Perlu pupuk dolomit yang banyak, sebelum tanahnya di olah,” jelasnya.

Meski begitu, Bayu mengakui bahwa pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Setiap tahun, bantuan untuk kelompok tani yang masih aktif terus disalurkan, mulai dari pupuk subsidi hingga benih padi.

Untuk pupuk subsidi, setiap anggota kelompok biasanya menerima 400 kilogram pupuk urea, 400 gram pupuk ponska, serta pupuk dolomit, untuk memperbaiki tingkat keasaman tanah.

Pupuk urea dan ponska pun bisa dibeli dengan harga subsidi, sekitar Rp115 ribu per 50 kilogram, jauh lebih murah dari harga pasaran.

“Kalau benih padi juga tetap ada bantuannya. Per kelompok dapat 30 kilo, biasanya padi hibrida. Mesin bajak juga dikasih,” beber Bayu.

Namun meski bantuan terus mengalir, tantangan teknis dan rendahnya keuntungan, tetap membuat banyak petani enggan kembali menanam padi. Sebuah potret paradoks di tanah perbatasan yang tengah berjuang menemukan kembali kemandirian pangannya.

Kisah Bayu menambah satu potongan penting dalam puzzle besar ketahanan pangan Natuna, bahwa persoalan bukan hanya soal cuaca, logistik, atau kebiasaan makan, tetapi juga tentang realitas ekonomi petani dan beratnya usaha untuk membuat tanah kembali subur bagi padi.

Solihin, salah seorang petani pisang di Kelurahan Batu Hitam, Kabupaten Natuna, saat ditemui sinarperbatasan.com dikebunnya. (Foto : Erwin Prasetio)

Petani lainnya, Solihin (38), punya pandangan serupa. Ia memilih tidak menanam padi, karena merasa hasil dan prosesnya tidak sebanding dengan tenaga yang harus dikeluarkan.

Di kebun pisangnya di Kelurahan Batu Hitam, yang siang itu tampak rimbun dan terawat, Solihin mengaku lebih nyaman menggantungkan hidup pada tanaman buah tersebut.

“Pisang itu mudah perawatannya. Sekali tanam, kita bisa panen setiap hari bergantian kalau jumlahnya banyak. Jualnya juga cepat,” ujarnya, Jumat (28/11/2025).

Keputusan Solihin ini, melengkapi gambaran bahwa mayoritas petani di Natuna memang lebih memilih komoditas yang dianggap praktis dan menguntungkan, meski pemerintah terus berupaya mendorong ketahanan pangan melalui program bantuan padi.

Terpisah, Kepala Desa Air Lengit, Kecamatan Bunguran Tengah, Kuswanto, mengatakan bahwa di wilayahnya, sebenarnya masih ada sebagian petani yang menanam padi. Namun, ia tidak menampik bahwa hasil panennya belum mampu mencukupi kebutuhan beras masyarakat setempat.

Padahal, Kecamatan Bunguran Tengah sejak awal diharapkan menjadi salah satu sentra padi lokal. Mayoritas penduduknya merupakan warga transmigrasi dari Pulau Jawa, kelompok masyarakat yang memiliki pengalaman panjang dalam bertani padi. Namun harapan itu belum sepenuhnya terwujud.

Desa Air Lengit yang dipimpin Kuswanto kini dihuni sekitar 1.150 jiwa. Sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani, tetapi hanya sekitar 2 hektare lahan sawah yang benar-benar ditanami padi.

Kepala Desa Air Lengit, Kuswanto, saat ditemui sinarperbatasan.com di kantornya, Senin (1/12/2025) pagi. (Foto : Erwin Prasetio)

“Dari 2 hektare itu, hasil berasnya cuma sekitar 4 ton. Untuk kebutuhan warga kami saja masih jauh dari cukup, Mas,” ujar Kuswanto, saat ditemui sinarperbatasan.com, Senin (1/12/2025) pagi.

Kondisi itu semakin menegaskan, bahwa persoalan pangan di Natuna bukan sekedar soal minat petani, tetapi juga menyangkut arah kebijakan pembangunan yang belum sepenuhnya menyentuh akar masalah. Padahal, Natuna pernah mendapat perhatian langsung dari pemerintah pusat.

Pada 8 Januari 2020 silam, Presiden RI saat itu, Joko Widodo (Jokowi), melakukan kunjungan kerja ke Natuna, wilayah terdepan yang sempat diklaim China sebagai bagian dari sembilan garis putus-putus di Laut China Selatan. Dalam kunjungan itu, Presiden menetapkan lima percepatan pembangunan strategis untuk memperkuat Natuna sebagai beranda terluar Indonesia.

Lima prioritas tersebut meliputi sektor pertahanan dan keamanan, kelautan dan perikanan, minyak dan gas bumi, pariwisata, serta lingkungan hidup. Namun di balik ambisi besar itu, ada satu sektor penting yang justru tidak tercantum dalam percepatan pembangunan, yaitu ketahanan pangan.

Padahal, dengan kondisi geografis yang terisolasi dan bergantung pada pasokan dari luar daerah, Natuna merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap krisis pangan. Kelalaian ini membuat upaya untuk membangun kemandirian pangan di daerah perbatasan seperti Natuna, seolah berjalan tersendat hingga kini.

Di tengah berbagai tantangan pangan yang dihadapi daerah perbatasan seperti Natuna, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, kini mencoba menutup celah itu melalui serangkaian program ketahanan pangan nasional.

Melalui Gerakan Indonesia Menanam (Gerina), pemerintah mendorong masyarakat kembali menanam pangan lokal, mulai dari sayuran, umbi hingga sagu, sebagai upaya memperkuat kemandirian pangan dari rumah tangga.

Di level yang lebih luas, pemerintah juga mempercepat pencetakan sawah baru dan pengembangan kawasan pangan strategis di sejumlah wilayah prioritas. Lumbung pangan nasional diperkuat, distribusi dijaga, dan cadangan pangan ditingkatkan, agar Indonesia tidak mudah goyah saat pasokan terganggu.

Di saat yang sama, konsep kedaulatan pangan kembali ditegaskan sebagai fondasi ketahanan nasional, dengan fokus pada kemampuan bangsa memproduksi pangan pokoknya sendiri.

Pemerintah bahkan melibatkan TNI-AD untuk memanfaatkan lahan-lahan tidur menjadi lahan pertanian produktif, sekaligus memperkuat fasilitas penyimpanan pangan di daerah.

Seluruh langkah itu dipertegas dengan alokasi anggaran besar dalam RAPBN 2026, mencapai Rp 164,4 triliun untuk membangun sistem pangan yang lebih tangguh dari hulu hingga hilir.

Berbagai kebijakan tersebut memberikan harapan baru bahwa persoalan pangan di daerah perbatasan, termasuk Natuna, tak lagi dipandang sebagai isu pinggiran, tetapi sebagai bagian penting dari kedaulatan bangsa.

Penulis : Erwin Prasetio

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini