Batik dari Ujung Timur Jambi: Ketika Perempuan Tanjabtim Menenun Identitas Lewat Lilin Panas

0
3
Google search engine

Tanjung Jabung Timur, SinarPerbatasan.com – Aroma malam panas menyeruak dari ruang produksi kecil di sebuah rumah di Kecamatan Muarasabak.

Di balik kepulan uap itu, tangan Siti Saroh bergerak lincah, mengalirkan lilin pada kain putih yang terbentang.

Setiap goresan canting tidak sekadar motif, ia adalah jejak lahirnya batik khas Tanjung Jabung Timur, warisan baru yang tumbuh bukan dari tradisi turun-temurun, melainkan dari tekad belajar dari nol.

Lebih dari satu dekade lalu, industri batik di daerah itu nyaris tak dikenal. Tidak ada keluarga pembatik, tidak ada tradisi panjang seperti di Pekalongan atau Yogyakarta.

Namun dari ruang-ruang pelatihan kecil yang digagas pemerintah daerah pada 2011–2013, lahirlah generasi pertama pengrajin batik Tanjabtim. Siti adalah salah satunya.

“Di sini tidak ada yang mewarisi batik. Semua mulai dari nol. Kami belajar dari pelatihan dasar, bahkan pergi ke Jawa untuk mendalami teknik,” kenang Siti, Kamis (27/11/2025).

Siti sempat menghabiskan empat bulan di Lasem pada 2013 untuk memahami batik tulis secara mendalam. Dari sanalah kemudian lahir Naima Batik, UMKM batik pertama di Tanjabtim yang mengembangkan motif khas daerah, termasuk Pedada Modifikasi, motif yang sempat meraih juara 3 tingkat nasional pada 2015.

Dari Upaya Mandiri ke Pembinaan Perusahaan Energi

Titik balik perkembangan industri batik Tanjabtim datang pada 2017. PetroChina International Jabung Ltd (PCJL) melihat potensi lokal itu dan menjadikannya salah satu fokus program pemberdayaan masyarakat (CSR).

Dukungan diberikan mulai dari pelatihan lanjutan, rumah produksi layak, pemasaran, hingga peningkatan kualitas produk.

“Batik adalah identitas daerah. Kami ingin UMKM Tanjab Timur bukan hanya bertahan, tetapi naik kelas,” ujar CSR & Comdev Supervisor PCJL, Ahmad Ramadlan.

Di bawah pendampingan perusahaan, kapasitas produksi Naima Batik berkembang pesat. Kini mereka mampu menghasilkan 20–50 lembar batik per bulan, bahkan melonjak hingga 500 potong saat menerima pesanan besar dari instansi pemerintah maupun sektor swasta.
Inovasi juga terus dikejar.

https://www.sinarperbatasan.com/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-20-at-21.06.11-6.jpeg

Setiap tahun, PetroChina mendorong lahirnya motif baru agar batik Tanjabtim tetap relevan di pasar modern. Pembinaan manajemen usaha, standardisasi produksi, dan pemasaran digital menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Jejak Perempuan-perempuan Kuat di Balik Batik

Bagi VP Business Support PCJL, Alfiani, batik lebih dari sekadar industri kreatif. Ia menyaksikan sendiri bagaimana kain-kain canting itu mengubah banyak kehidupan perempuan Tanjabtim.

“Batik menjadi sumber penghidupan, terutama bagi ibu-ibu sekitar wilayah operasi. Saat UMKM tumbuh, dampaknya terasa hingga ke pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan keluarga,” ungkapnya.

Kini, para pengrajin Tanjabtim banyak menggunakan bahan pewarna alam, daun mangga, kulit jengkol, sabut kelapa, hingga akar mengkudu.

Hasilnya adalah warna-warna lembut yang menjadi ciri khas batik pesisir Jambi bagian timur. Motif-motif itu telah tampil di berbagai pameran nasional, membawa nama Tanjung Jabung Timur ke panggung yang lebih luas.

Sinergi yang Menguatkan Akar Ekonomi Kreatif

Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Heru Setyadi, menyebut keberhasilan pembinaan ini sebagai contoh implementasi nyata pilar-pilar Program Pemberdayaan Masyarakat (PPM) KKKS, terutama pada aspek kemandirian ekonomi dan pelestarian sosial budaya.

“Ketika masyarakat di sekitar wilayah kerja KKKS mampu mandiri secara ekonomi, kesejahteraan dan ketahanan sosial akan ikut menguat,” ujar Heru.

Ia meyakini, dengan sinergi pemerintah daerah, komunitas kreatif, dan dukungan berkelanjutan dari PetroChina, batik Tanjung Jabung Timur bisa berkembang menjadi ikon budaya yang dibanggakan, identitas baru yang lahir dari usaha bersama.

Batik yang Tidak Datang dari Masa Lalu, tetapi Diciptakan untuk Masa Depan

Di sebuah meja kayu, Siti menatap lembar kain yang baru diselesaikannya. Garis-garisnya halus, motifnya tegas, warnanya lembut. Ia mengingat masa ketika belum ada satu pun pengrajin batik di Tanjabtim.

“Dulu kami tidak punya warisan batik,” katanya sambil tersenyum. “Sekarang, justru kami yang sedang menciptakan warisan itu,” imbuhnya.

Di tangan para perempuan Tanjabtim, batik bukan hanya keterampilan, tetapi perjalanan panjang untuk menghadirkan identitas baru bagi daerah mereka, identitas yang ditulis dengan lilin panas, kesabaran, dan semangat untuk maju. (Erwin)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini