BerandaADVERTORIALJejak Sugi Batara, Krisis Pangan, dan Lahirnya Budaya Cumpea Desa Mone

Jejak Sugi Batara, Krisis Pangan, dan Lahirnya Budaya Cumpea Desa Mone

- Advertisement -

SINARPERBATASAN.COM, BUTON TENGAH – Ada masa yang tak tercatat dalam kitab sejarah, tapi hidup dalam ingatan tanah dan desir angin yang melewati Teluk Lasongko, di Kecamatan Lakudo, Kabupaten Buton Tengah.

Di sanalah berdiri Desa Mone, tempat orang-orang dahulu bernaung dalam kepercayaan animisme, menyapa roh leluhur yang menghuni pohon tua, gunung, dan aliran air bawah tanah. Sebelum adzan pertama di Desa itu menggema, mereka hidup selaras dengan alam, tunduk pada sunyi dan titah langit.

Namun alam tak selamanya ramah. Datanglah masa yang pahit, kala bumi enggan menumbuhkan dan langit menolak menurunkan hujan. Kekeringan melanda. Panen gagal berkali-kali hingga suara lapar menjadi irama sehari-hari. Anak-anak kurus tertidur tanpa mimpi, dan para ibu mulai menyisihkan air mata dalam diam. Desa Mone nyaris menyerah. Apa yang disebut krisis pangan melanda Mone kala itu.

Dalam keterdesakan, tokoh-tokoh adat memutuskan untuk berjalan jauh. Mereka menghadap Raja Sugi Batara, penguasa dizaman itu yang insting pendengarannya cukup peka terhadap derita rakyat.

“Tanah kami mati, Raja. Air tak datang, jagung tak tumbuh,” adu mereka. Sang Raja mendengar, bukan hanya dengan telinga, tetapi dengan hatinya.

Ia pun berangkat, dari Wolio, menggunakan perahu bersama para prajuritnya. Laut Teluk Lasongko terbuka, seolah tahu bahwa yang datang adalah pembawa harapan. Namun sebelum mereka mencapai pantai Mone, kekuatan gaib menghadang. Makhluk-makhluk jahat yang tak terlihat oleh mata biasa menghalau perjalanan mereka. Para prajurit, dengan sigap dan tabah, menghunus pisau—bukan untuk membunuh, tetapi untuk menjaga.

Pertarungan itu tak kasatmata, namun gerak prajurit yang menari dalam perlawanan dapat disaksikan oleh warga Desa Mone. Pisau meliuk di udara, tubuh-tubuh prajurit mengalir dalam irama yang memukau.

“Gerakan itulah yang kami abadikan sebagai silat khas Mone. Bukan sekadar bela diri, tapi warisan peristiwa besar yang membangkitkan kami dari mati pelan-pelan,” tutur La Gelo, Ketua adat Desa Mone saat ini. Dari tubuhnya mengalir darah leluhur yang turun temurun merawat sejarah cikal bakal lahirnya budaya Cumpea Desa Mone.

https://www.sinarperbatasan.com/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-20-at-21.06.11-6.jpeg

Setelah semua halangan tertembus, Raja Sugi Batara menginjakkan kaki di tanah yang kerontang itu. Jejak kaki sang raja hingga kini masih ada di ujung napa Desa Mone seperti disebutkan oleh La Gelo kepada Saya, Senin sore, (21/04/2025).

Di tangan Sugi Batara tergenggam bibit jagung, bukan sekadar tanaman, tapi janji kehidupan. Namun ia tak memberikannya begitu saja. Ia menetapkan syarat:

“Jagung ini harus ditanam dengan restu langit dan berkah leluhur. Ada tiga ritual yang harus dilalui: buka musim, tanam, dan panen (tutup musim).” tutur Sugi Batara yang di tirukan La Gelo.

Ritual itu pun dilaksanakan dengan khidmat. Buka musim adalah salam kepada alam, tanam adalah doa di atas tanah, dan panen adalah ucapan syukur dalam nyanyian. Dari ketiga ritual ini, lahirlah budaya Cumpea—sebuah perayaan pasca panen, yang oleh La Gelo diartikan sebagai “pesta pora yang lahir dari lapar sertakrisis pangan yang pernah mendera,” imbuhnya.

Namun sesudah Cumpea, masih ada satu etape pertapaan panjang yang dilakukan oleh para tokoh adat di tempat-tempat sakral. Mereka melakukan ritual tutup musim, memohon perlindungan agar desa tidak lagi dimasuki oleh roh jahat yang dahulu menghancurkan.

“Saat itu, menurut leluhur kami, Desa Mone secara gaib ditutup dan digelapkan. Tak ada makhluk jahat yang bisa masuk selama musim itu,” jelas La Gelo.

Ritual ini bukan hanya soal jagung, bukan pula sekadar tradisi. Ini adalah napas spiritualitas yang menghubungkan manusia dengan leluhur dan alam. Dalam Cumpea, semua orang menari, bernyanyi, dan tertawa. Tapi lebih dari itu, mereka mengenang luka lama dengan syukur yang diam. Di balik nyanyian dan tarian, ada sejarah yang dibisikkan dari generasi ke generasi.

“Cumpea itu bukan hanya gembira karena panen. Itu penanda bahwa kami masih ada, masih hidup, dan tak dilupakan oleh langit,” ujar La Gelo, dengan mata yang menyimpan cerita panjang.

Dan begitulah, hingga hari ini, Desa Mone masih merayakan Cumpea—bukan sekadar untuk mengenang jagung pertama yang tumbuh, tapi untuk merawat janji antara manusia, tanah, dan mereka yang tak kasatmata.

Reporter: Sadly

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Google search engine


Google search engine

Google search engine

Google search engine

Most Popular

Recent Comments

https://ibb.co/hBb6x82

Dilindungi Hak Cipta!!