BerandaDaerahMengenal Tradisi 'Mulot Buqong', Antara Hobi dan Rejeki di Keheningan Hutan Natuna

Mengenal Tradisi ‘Mulot Buqong’, Antara Hobi dan Rejeki di Keheningan Hutan Natuna

- Advertisement -

Agung saat memasang pulut di ranting kayu, sebelum di naikkan ke atas pohon untuk menangkap burung. 

Natuna, SinarPerbatasan.com – Pagi itu, waktu baru menunjukkan pukul 04:15 Wib, Selasa (23/09/2025), namun Agung (34) dan Zaki Husairi (31), sudah sibuk mengemas perbekalan, untuk menuju kesebuah hutan belantara di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Disaat sebagian orang masih terlelap dibalik selimut hangatnya, kedua pria bersahabat itu justru rela membelah embun pagi, menyusuri jalan aspal yang masih gelap gulita.

Dengan mengendarai kuda besi bututnya, Agung dan Zaki berpacu dengan waktu, agar dapat menyambut sang fajar ditengah keheningan hutan Natuna. Ya, disaat mentari belum bersinar, mereka harus sudah siap memasang pulut di antara rindangnya pepohonan ditengah jenggala.

Pulut merupakan alat untuk menangkap burung, yang terbuat dari berbagai jenis getah tanaman, yang dicampur dengan lem tikus. Pulut menjadi senjata andalan bagi pemikat burung asal Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah.

Benar, Agung dan Zaki memang sedang memikat burung langka, yang bersemayam ditengah belantara Pulau Tujuh (sebutan Natuna sebelum mekar Kabupaten).

“Jadi sebelum burung bangun untuk mencari makan di pagi hari, kita harus sudah memasang pulutnya di atas pohon, agar burung tidak mengetahui pulut kita. Makanya orang sini kalau mulut selalu perginya sebelum pagi, bahkan tengah malam,” terang Agung, ketika ditemui awak media sinarperbatasan.com di lokasi memulut.

Awak media ini mencoba ikut mempraktikkan memasang pulut di ranting kayu, yang ternyata tidak mudah untuk dilakukan oleh orang yang belum terbiasa.

Kali ini, memang awak media sengaja mengikuti pemikat hingga ke tengah hutan. Alasannya, agar kami dapat mengetahui secara langsung tradisi ‘Mulot Buqong’ yang telah dilakukan masyarakat Natuna secara turun-temurun. Mulot Buqong memiliki arti memikat burung liar, yang di ambil dari bahasa daerah Natuna.

Selain menjalani hobi dan mempertahankan tradisi dari nenek moyang, ternyata tradisi Mulot Buqong juga menjadi salah satu mata pencaharian bagi sebagian warga setempat.

Mulot Buqong memang bukan profesi yang menjanjikan. Namun ditengah krisis perekonomian yang melanda daerah di ujung utara NKRI saat ini, aktifitas yang kerap dipandang sebelah mata bagi sebagian orang tersebut, dapat menjadi salah satu penyambung hidup dimasa paceklik.

“Karena kan sekarang lagi susah pekerjaan, kegiatan proyek tidak ada, kami susah mendapatkan penghasilan. Dengan pergi memulot, kami harap mendapatkan hasil untuk bisa menyambung hidup,” ucap Agung, sembari menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

“Iya, kemarin saya baru saja tutup lapak, usaha jualan sangat sepi, untuk bayar sewa lapak pun tidak cukup, terpaksa gulung tikar,” sahut Zaki, yang sebelumnya berjualan sosis dan minuman dingin di Pantai Piwang, Ranai.

Dengan memikat burung, Agung dan Zaki berharap dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari, agar dapur keluarganya bisa tetap ngebul. Apalagi, mereka berdua masih memiliki tanggungan pendidikan anak, yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

https://www.sinarperbatasan.com/wp-content/uploads/2024/03/WhatsApp-Image-2024-03-20-at-21.06.11-6.jpeg
Selain menjadi tradisi dan hobi, ternyata mulot buqong (memikat burung) juga menjadi salah satu mata pencaharian sebagian warga asli Natuna.

Ada beberapa jenis burung yang memiliki harga cukup mahal, seperti Murai Batu dan Cucak Ijo. Untuk burung murai batu jantan, biasanya dihargai pembeli sekitar Rp 500 ribu per ekor. Sementara untuk jenis burung cucak ijo jantan, sekitar Rp 250 ribuan.

“Kalau burung betina harganya murah, kalau murai batu sekitar dua ratus sampai tiga ratus ribuan, kalau cucak ijo betina, hanya seratus ribuan. Kadang kalau dapat betina pun kami lepas kembali, agar tidak punah,” imbuh Agung.

Sayangnya, meski matahari sudah mulai tenggelam di ufuk barat, tak satupun burung incarannya menempel di pulut mereka. Akhirnya sekitar pukul 17:30 Wib, Agung dan Zaki sepakat untuk menurunkan pulut mereka dari atas pohon besar, yang tingginya mencapai 20 an meter.

Meski harus pulang dengan tangan hampa, namun pemulot yang telah profesional itu yakin, suatu hari nanti Tuhan akan memberinya rejeki di tempat lain. Hanya saja, mereka tak mampu menyembunyikan kesedihan. Lantaran tak ada rejeki untuk mereka persembahkan bagi keluarganya yang telah lama menanti dirumah.

Wadah makanan kotor bekas bekal, menjadi saksi bisu perjuangan sang ayah untuk mengais rejeki di tengah jenggala. Wajah lesu dan sisa tenaga yang ada, menjadi bukti betapa lelahnya menyusuri hutan belantara demi menghidupi sang keluarga tercinta.

Dalamnya sungai dan ancaman binatang buas, tak menyurutkan semangat Agung dan Zaki, untuk kembali manakhlukkan hutan belantara di daerah berjuluk mutiara di ujung utara Indonesia, asalkan istri dan anaknya dapat tersenyum sumringah, menikmati hasil dari tetesan keringat mereka.

“Zonk kita hari ini,” ucap Bapak dua orang anak itu lirih, seraya menyeka keringat yang membasahi raut wajahnya. “InsyaAllah di lain waktu ada rejeki untuk kami,” sambungnya.

Disepanjang perjalanan pulang mereka bercerita, tradisi Mulot Buqong, saat ini sudah mulai banyak ditinggalkan oleh warga melayu asli Natuna. Sebab, banyak habitat burung yang telah beralih fungsi menjadi lahan perumahan, perkebunan dan pertambangan. Sehingga burung-burung tersebut diduga telah bermigrasi ke hutan yang lebih jauh dari permukiman warga, dan sangat sulit untuk dijangkau.

“Yang masih banyak burung itu di sekitar hutan gunung bedung, tapi sangat jauh dan sulit untuk di jangkau. Karena aksesnya kesana tidak ada, kita harus berjalan kaki berjam-jam. Bahkan mereka rata-rata kalau kesana harus menginap. Makanya banyak orang yang sudah mulai meninggalkan tradisi ini, karena membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit,” terang Agung, yang mengaku sudah beberapa kali memikat burung di hutan gunung bedung.

Meski kerap menangkap burung di alam liar, namun ia dan rekannya tidak tamak. Mereka hanya membawa pulang burung murai batu dan cucak ijo berjenis kelamin jantan. Jika mendapatkan jenis burung lain dan burung betina, akan selalu mereka lepaskan kembali ke habitatnya, demi menjaga kelestarian hewan aves yang memiliki kicauan merdu, agar tidak punah dari Bumi Laut Sakti Rantau Bertuah. (Erwin Prasetio)

- Advertisement -
RELATED ARTICLES

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

Google search engine

Google search engine

Google search engine

Most Popular

Recent Comments

https://ibb.co/hBb6x82

Dilindungi Hak Cipta!!